Kamis, 18 Maret 2010

Masalah sosial sebagai hambatan peningkatan kasus kesejahteraan ( kasus penyalahgunaan obat) dan upaya pemecahannya

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ingin mengucapkan puja dan puji syukur saya tehadap Tuhan YME karena dengan karunia-Nya saya dapat mengerjakan tugas makalah masalah sosial dan upaya pemecahannya dengan tema kasus (penyalahgunaan obat) dan kasus pemecahannya. Dalam mengerjakan tugas ini, saya diberikan kelancaran dan kemudahan hingga dapat selesai tepat waktu
Saya berharap dengan dibuatnya makalah ini masyarakat bisa sadar akan penyalahgunaan obat yang telah di gunakan di kalangan masyarakat atas, menengah maupun masyarakat bawah.
Dengan demikian, masyarakat bisa sadar dan tidak salah dengan menggunakan obat yang ingin di konsumsinya. Begitu pula dengan pemerintah yang seharusnya dan semestinya bisa memberikan pengarahan tentang penggunaan obat di masyarakat. Dengan begitu masyarakat bisa memahami tentang penggunaan obat yang ingin di konsumsinya tergantung dosis yang telah di tentukan oleh Standar Operasional Prosedur.

Bekasi, 20 Maret 2010

Penyusun

I. ITENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH

Jumlah pengguna narkoba di Indonesia sekarang ini diperkirakan mencapai sebanyak 3,2 juta orang yang terdiri atas 69 persen kelompok teratur pakai, dan 31 persen lainnya merupakan kelompok pecandu dengan proporsi pria sebesar 79 persen dan perempuan 21 persen, kata Kepala Pusat Dukungan Pencegahan Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (Kalakhar BNN), Brigjen Pol dr Eddy Saparwoko.

kompleksitas permasalahan penggunaan, peredaran gelap narkoba, dan seriusnya ancaman bahaya terhadap berbagai aspek kehidupan maupun masa depan bangsa, tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan semua upaya untuk melawan melalui kegiatan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat bidang pencegahan penyalahgunaan narkoba.

"Kita perlu secara konsisten memberikan informasi untuk mendorong, membangkitkan komitmen dan partisipasi aktif semua potensi masyarakat sehingga diharapkan pada saatnya nanti program pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dapat ditetapkan sebagai kebijakan publik," katanya.
Ia mengatakan, target Indonesia bebas narkoba 2015 akan terwujud jika kepedulian pemerintah, legislatif, aparat penegak hukum, dan instansi terkait bersama-sama masyarakat bertekad memerangi bahaya narkoba secara komprehensif, terpadu dan sumber daya.Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia belakangan ini merupakan ancaman nyata yang serius terhadap masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Melihat kenyataan ini, kita tak boleh terjebak dalam hal yang bersifat klasik seperti mengangkat kelemahan-kelemahan internal tanpa ujung penyelesaian. Sementara di sekitar kita telah terbentang luas permasalahan narkoba yang tanpa kita sadari telah menimbulkan banyak korban baik di kalangan generasi muda, pejabat publik, penegak hukum, pendidik dan anak didik

II LATAR BELAKANG MASALAH

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.

III PENANGANAN MASALAH BERBASIS MASYARAKAT

  1. Mengambangkan system social yang responsive

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba saat ini telah berada dalam situasi yang mencemaskan, dikarenakan peredarannya sudah mencapai ke lapisan masyarakat kalangan bawah, baik yang berada di kota besar maupun kecil, dan pelakunya juga mencakup semua golongan masyarakat. Oleh sebab itu, pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan bahaya narkoba harus ditingkatkan juga sehingga pemahaman tersebut dapat meningkatkan ketahanan pribadi yang menjadi penangkal terhadap meluasnya peredaran dan penyalah-gunaan narkoba. Di samping itu, partisipasi aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan penyalah-gunaan Narkoba merupakan aspek yang sangat penting dalam menyelamatkan generasi muda dari bahaya kehancuran, demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

Berkaitan dengan itu, salah satu upaya yang dipandang strategis adalah melalui kegiatan penyebarluasan informasi tentang bahaya penyalahgunaan narkoba sehingga masyarakat akan mampu membentengi diri untuk tidak menjadi korban ataupun pelaku penyalahgunaan narkoba itu sendiri dengan tidak mengkonsumsi narkoba ataupun mengambil keuntungan dari peredaran gelap narkoba. Dalam pemberantasan narkoba masyarakat dapat berperan sebagai mitra kerja aparat penegak hukum dengan memberikan informasi seluas-luasnya tentang penyalahgunaan dan peredaran narkoba, dengan demilian di Indonesia akhir-akhir ini telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.

Pernyataan perang terhadap narkoba telah diupayakan pemerintah dengan melibatkan unsur masyarakat, di samping perangkat hukum yang telah dibuat untuk menangkap para pelaku, baik pengedar maupun pengguna atau pemakai narkoba. Namun demikian, upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal sesuai dengan harapan masyarakat.


Berkaitan dengan hal-hal tersebut, beberapa hal yang merupakan kondisi yang diharapkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba, yakni:

a.Meningkatnya Efektifitas Penegakan Hukum
Peningkatan efektifitas penegakan hukum dapat dilakukan melalui peningkatan intensitas operasi rutin ataupun operasi khusus penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkoba. Di samping itu, peningkatan kemampuan profesionalisme aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana pendukung merupakan hal yang harus dilakukan agar upaya pemberantasan penyalah-gunaan narkoba tersebut menjadi efektif.
Peningkatan kapasitas dan kemampuan aparat penegak hukum akan berdampak pada peningkatan profesionalisme mereka dalam mengungkap dan memutus jaringan dan sindikat Narkoba secara tuntas.
Disamping itu, peningkatan etika dan juga mental serta moral aparat penegak hukum merupakan faktor yang dapat membentengi diri penegak hukum tersebut dari berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta menghindarkan mereka dari keinginan untuk menyalah-gunakan kewenangannya di dalam proses penegakan hukum tersebut.
Peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum tersebut akan dapat memperbaiki sikap aparat penegak hukum dalam menanggapi dan responsif terhadap kejahatan penyalah-gunaan narkoba, dan dengan sendirinya akan menghapus kesan bahwa aparat penegak hukum sering membeda-bedakan didalam pelayanan terhadap masyarakat, termasuk kejahatan penyalah-gunaan narkoba.

b.Kemauan Pemerintah dan Kepedulian Masyarakat yang Optimal
Persoalan penyalahgunaan narkoba hendaknya tidak dilihat sebagai tanggung jawab pemerintah saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh bangsa. Dengan demikian, upaya pencegahan dan pemberantasan penyalah-gunaan narkoba tersebut perlu mendapatkan dukungan yang optimal dan serius dari pemerintah dalam kaitannya dengan penegakan hukumnya. Sejalan dengan itu, diperlukan penguatan dibidang legislasi yang diharapkan mampu memberikan deterrent effect (efek jera) bagi para pemakai dan bahkan bandar dan pengedar narkoba. Disamping kemauan pemerintah tersebut, kepedulian dan peran aktif masyarakat (tokoh informal, tokoh agama, LSM) melalui pendekatan non hukum, merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.

c.Koordinasi Antarinstansi yang Efektif
Untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum dalam kaitannya dengan upaya upaya pencegahan dan pemberantasan penyalah-gunaan narkoba, maka optimalisasi kooordinasi antar insatansi terkait dalam penanggulangan penyalah-gunaan narkoba (seperti : BNN, BND, BNK, Pemda, Kejaksaan, Polri dan instansi lainnya) merupakan prasyarat penting bagi pencapaian tujuan penanggulangan penyalah-gunaan narkoba tersebut. Koordinasi terpadu yang komprehensif dan integral yang melibatkan instansi terkait dalam hal ini BNN, BND, BNK, Pemda, Kejaksaan, Polri, dan lapisan masyarakat seharusnya dilakukan sejak tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengendalian upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkoba.

B. Pemanfaatan Modal Sosial

Masalah narkoba sudah merupakan masalah nasional, karena masalah narkoba sudah ada dimana-mana. Sepertinya tidak ada lagi wilayah kelurahan atau desa di Republik ini yang steril dari narkoba. Narkoba disadari atau tidak sudah ada disekeliling kita. Narkoba sudah ada di lingkungan tempat tinggal kita.

Setiap hari informasi penangkapan/penggerebekan Bandar narkoba dan pemakai oleh aparat kepolisian di seantero wilayah republik ini dilaporkan oleh media massa dan media elektronik. Begitu pula penyelundupan narkoba dari luar negeri dapat dibongkar oleh aparat Bea Cukai dan Kepolisian. Namun sepertinya masalah ini tidak ada habis-habisnya. Para pemakai/pengguna rasanya tidak pernah berkurang jumlahnya seperti yang diungkapkan oleh media massa dan elektronik.

Salah satu upaya menekan lajunya peredaran narkoba ini adalah mencegah menjalarnya peredaran ditingkat lokal oleh pranata sosial setempat. G-Santun (Gerakan Sosial Anti Narkoba Medan Tuntungan) yang merupakan kolaborasi/gabungan beberapa pranata sosial di Kecamatan Medan Tuntungan, menjadi salah satu upaya pencegahan peredaran narkoba di tingkat paling bawah. Mereka telah melakukan upaya penyuluhan ke beberapa sekolah lanjutan yang ada di Medan. Salah satu prinsipnya lebih baik mencegah dari pada mengobati yang sudah terkena narkoba. Masih ada beberapa kegiatan yang berhubungan dengan upaya mengatasi masalah narkoba ini.

Kolaborasi pranata sosial ini cukup baik dan dianggap ampuh dalam mengantisipasi masalah narkoba pada masa mendatang, karena mereka mengetahui dengan tepat akan kondisi dan keberadaan warga masyarakatnya. Memang tidak mudah menyatukan beberapa unsur pranata sosial yang ada, tapi dengan pengarahan dan persiapan yang terencana, kolaborasi ini dapat diciptakan, seperti G-Santun.

C. Pemanfaatan Institusi social

1. Organisasi masyarakat

Sebagai bagian dari kelompok masyarakat sipil, pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain (Napza) harus terlibat dalam pengorganisasian. Dengan demikian, pengguna Napza sebagai kelompok yang terdampak Napza bisa mendorong tata pemerintahan yang lebih baik dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS.

Demikian salah satu hasil diskusi sesi pada hari kedua Pekan Nasional Harm Reduction (PNHR) II di Makassar, Selasa (17/6). Diskusi bertema Pengorganisasian Kelompok Terdampak Napza itu menghadirka pembicara Koordinator Ikatan Korban Napza (IKON) Bali I Gusti Ngurah Wahyunda, Ketua Dewan Nasional Jaringan Advokasi Harm Reduction (Jangkar) M Sophian Ihramsyah, Direktur Eksekutif Yayasan Spiritia Daniel Margurai, dan Warga Peduli AIDS Kiaracondong Bandung Tati Hartati.

Dalam presentasinya, Wahyunda memaparkan keberhasilan program IKON Bali dalam mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap pengguna Napza di Bali. Menurut Wahyunda, mulainya kesadaran pengguna Napza di Bali untuk mengorganisasi diri berawal dari seringnya terjadi tindak kekerasan terhadap mereka.

Kekerasan yang terjadi pada pengguna Napza, kata Wahyu, terjadi akibat sistem yang tidak memihak pengguna Napza. “Penjara terbukti gagal memberikan efek jera pada kami. Kalau selesai dipenjara, kami bisa kembali menggunakan Napza,” ujar Wahyunda. Persoalan Napza yang dibingkai dengan moralitas juga membuat pengguna Napza sering mendapat diskriminasi oleh masyarakat maupun kriminalisasi oleh aparat hukum.

Pada September 2006, mereka kemudian membentuk kelompok yang tegas menyatakan sebagai korban. Dasarnya adalah karena menurut Deklarasi Universal HAM (DUHAM) bahwa setiap manusia memiliki hak untuk merdeka, bermartabat, dan punya hak sama. “Kami memulainya dengan cara membongkar isi kepala pengguna Napza dengan landasan tentang HAM sehingga sifat-sifat buruk pada pengguna Napza bisa diubah sedikit demi sedikit,” tambah Wahyu.

Sebagai sebuah kelompok pengguna Napza yang belum tahu tentang HAM, IKON Bali belajar tentang HAM terlebih dahulu. Dari belajar bersama ini kemudian muncul program aksi seperti demonstrasi ke instansi hukum serta berjejaring dengan lembaga lain yang peduli masalah HAM.

Hasilnya, saat ini sudah ada dokumen laporan pelanggaran HAM terhadap pengguna Napza di Bali. Laporan ini bahkan sudah masuk di shadow report ke Perserikatan Bangsa-bangsa. Lebih dari itu semua, pengguna Napza yang mendapat kekerasan dari aparat penegak hukum kini juga mulai ada yang berani melakukan protes pada petugas tersebut.

Pembicara lain, Ihramsyah menjelaskan tentang strategi Jangkar sebagai jaringan organisasi harm reduction di Indonesia. Menurut Ihram, untuk bisa terlibat dalam penanggulangan AIDS di tingkat nasional, Jangkar melakukan peningkatan kapasitas melalui lokakarya untuk aktivis LSM jaringan maupun konsultasi dan latihan terkait penanggulangan AIDS. “Kami juga memperkuat agar akses informasi terkait HIV/AIDS di tingkat nasional maupun internasional bisa diperoleh dengan mudah oleh anggota jaringan,” kata Ihram.

Menurut Ihram, untuk mengarusutamakan isu penanggulangan AIDS di kalangan pengguna Napza, maka organisasi masyarakat sipil harus berusaha keras untuk duduk sejajar dalam penanggulangan dampak buruk. Selain itu, organisasi masyarakat juga harus menyebarluaskan informasi dan melakukan komunikasi intensif dengan jaringan, memperjuangkan kebijakan yang peduli pengguna Napza, serta mendorong tata pemerintahan yang baik terkait isu ini.

2. Organisasi Swasta

melakukan advokasi untuk mendukung kebijakan, UU dan alokasi anggaran. Melalui fungsi parlemen yaitu pembuatan UU atau peraturan daerah terpadu untuk menanggulangi HIV/AIDS pada anak dan remaja (legislasi); Alokasi anggaran untuk tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif (alokasi anggaran); dan pelaksanaan UU atau peraturan daerah dan realisasi anggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS pada anak dan remaja (pengawasan).

Komitmen politik dalam rangka penanggulangan HIV/AIDS adalah (i) membantu proses sosialisasi strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS di tingkat propinsi dan dan daerah yang terpadu yang secara nyata dapat mengurangi penyebaran perluasan HIV/AIDS pada anak dan remaja dan (ii) menindaklanjuti upaya legislasi di tingkat nasional demi terciptanya kebijakan yang menjadi payung hukum bagi peraturan-peraturan daerah yang dapat mendukung upaya mengurangi penyebaran perluasan HIV/AIDS pada anak dan remaja.

Estimasi ODHA di Indonesia tahun 2002 adalah 90.000-130.000 orang. Prevalensi HIV pada sub Kelompok tertentu (Concentrated Level Epidemic) adalah > 5 %. Cara penularan HIV/AIDS adalah melalui Hubungan Seks dan Napza Suntik. Prevalensi HIV pada kelompok IDU di Indonesia 24,5 - 53% (Jakarta, Jawa Barat, Bali) sebagian besar di antara mereka berusia 15 -24 tahun. Sedangkan prevalensi pada ibu hamil adalah 0,25% di Papua dan 2,7% di DKI serta 0,35% di Riau.

penanggulangan HIV/AIDS pada anak dan remaja adalah Anak Indonesia terlindung dari HIV/AIDS, sedangkan Misinya adalah Mencegah dan Membatasi penularan HIV/AIDS dan meningkatkan kualitas hidup ODHA dan keluarga. Adapun tujuannya adalah (1) Menyediakan atau menyebarluaskan informasi pencegahan, (2) Menyediakan Perawatan, akses terhadap pengobatan dan dukungan pada anak dengan HIV/AIDS, (3) Meningkatkan Peran Keluarga, remaja dan masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS, (4) Meningkatkan Kemitraan Pemerintah, swasta, LSM, organisasi Profesi dan lembaga donor, dan (5) Meningkatkan Koordinasi kebijakan Nasional dan daerah yang sinergis dalam penanggulangan. Sasarannya adalah Bayi, Balita, Anak Usia Pra-sekolah, Anak Usia Sekolah, Remaja, dan Wanita Pranikah.

Kebijakan dalam penanggulangan Hiv/AIDS pada anak dan remaja adalah (1) Menciptakan suasana/ lingkungan yang kondusif, (2) Kerjasama dengan pihak terkait, (3) Pencegahan prioritas yang terintegrasi dengan upaya perawatan, dukungan dan pengobatan, (4) Pemberdayaan masyarakat, keluarga dan anak khususnya anak perempuan, (5) Mengurangi stigma dan diskriminasi, (6) Peningkatan akses obat ARV, dan (7) Mengintegrasikan pendidikan pencegahan HIV/AIDS ke dalam kurikulum baik ekstra maupun intra kurikuler.

Strategi penanggulangan HIV/AIDS pada anak dan remaja adalah (1) Diperlukan komitmen politik yang tinggi, (2) Mengembangkan dan menerapkan strategi nasional multipihak, (3) Kegiatan pencegahan yang terintegrasi dengan pelayanan, dukungan dan pengobatan, (4) Mengintegrasikan program VCT bagi bumil yang berisiko, (5) Meningkatkan akses thd pelayanan, dukungan dan pengobatan, (6) Mengembangkan program perawatan, pengobatan dan dukungan bagi ODHA pada community/family based care, (7) Meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender, dan (7) Sosialisasi Human Right dalam penyediaan pelayanan dan pengobatan ODHA.

Kegiatan Pokok yang dilakukan yaitu (1) Advokasi, (2) Kerjasama dengan pihak lain untuk menyediakan obat murah, (3) Meningkatkan pengetahuan anak dan remaja tentang HIV/AIDS, (4) Meningkatkan KIE pada para tenaga pendidik, (5) Promosi dan KIE pada remaja dan keluarganya, (6) Promosi Prilaku Seksual Aman, (7) Harm Reduction (Penanggulangan HIV/AIDS pada Pengguna Napza Suntik), (8) Menyediakan layanan VCT bagi mereka yang berisiko, (9) Melaksanakan VCT, PMTCT, Pelayanan, dukungan dan pengobatan ODHA, (10) Pelayanan Kesehatan Reproduksi, (11) Memperkuat perawatan berbasis keluarga dan masyarakat, dan (12) Hukum perlindungan yang berkaitan dengan HIV/ AIDS.

3 Optimalisasi Kontribusi dalam Pelayanan social

JAKARTA - Sekitar 80 persen 3,2 juta orang penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya (narkoba) adalah usia 15-39 tahun, sehingga jika dibiarkan, Indonesia akan kehilangan generasi (lost generation), kata Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyahgunaan NAFZA Depsos Max H Tuapattimain pagi ini.

Menurut Max, NAFZA atau narkoba merupakan masalah internasional yang memunculkan komitmen global, regional, nasional dalam penanganannya dan dampaknya antara lain menyangkut sosial, ekonomi dan kesehatan.
"Penyalahgunaan Narkoba menyangkut aspek bio-psikososial dan spiritual, sehingga membutuhkan penanganan yang komprehensif dan jangka panjang," katanya.
Sementara kondisi dan permasalahan narkoba, antara lain penyalahgunaan narkoba sebagai disfungsi sosial yang memerlukan upaya pengubahan perilaku serta pecandu perlu dipulihkan agar tidak menjadi beban sosial ekonomi keluarga, masyarakat dan negara serta diharapkan menjadi insan yang berguna, produktif dan hidup normatif.
Depsos mengeluarkan kebijakan dalam pemulihan penyalahgunaan narkoba, yakni meningkatkan dan memperluas jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial korban narkoba, meningkatkan partisipasi dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkoba yang berbasis masyarakat, serta meningkatkan koordinasi intra - inter instansi pemerintah terkait, serta meningkatkan profesionalisme sarana dan prasaranapelayanan.
Program penanganan masalah penyalahgunaan narkoba oleh Depsos meliputi pencegahan, rehabilitasi sosial, pembinaan lanjut (after care), kelembagaan, perlindungan dan advokasi sosial.
Sementara itu, Ketua P4GN BNN Yudi Kusmayadi mengatakan, hasil penelitian terjadi kenaikan penyalahgunaan narkoba dari 1,5 persen penduduk Indonesia pada 2004 menjadi 1,9 persen pada 2008.
Pertambahan jumlah penyalahgunaan narkoba sebagian besar berasal dari pecandu yang sembuh, namun kambuh kembali dan penyebaran sudah sampai di tingkat desa/kelurahan se-Indonesia.

4. Kerjasama dan Jaringan

Guna mencegah berkembangnya masalah narkoba dan mewujudkan cita-cita Indonesia Bebas Narkoba Tahun 2015, BNN kini tidak hanya melakukan kebijakan dengan pendekatan berbasis media massa.

Saat ini BNN telah membangun sebuah strategi berupa memperluas jaringan komunikasi yang berbasis masyarakat. BNN juga merangkul serta melakukan kerja sama dengan elemen-elemen lain yang dinilai potensial dalam melaksanakan P4GN ini.

Kerja sama dengan elemen-elemen lain itu dilakukan dengan membangun jaringan berbasis keluarga, berbasis sekolah, berbasis tempat kerja, berbasis institusi, berbasis organisasi dan berbasis masyarakat. Juga menggelar lomba kampung bebas narkoba di Surabaya Jawa Timur. Sedikitnya 200 kampung ikut dalam lomba ini.

Upaya nyata lainnya yang telah dilakukan BNN saat ini ialah dengan menggandeng pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membongkar dan memutus rantai peredaran narkoba di tanah air.

Berbagai operasi telah digelar dengan melibatkan berbagai pihak di dalam negeri dan luar negeri. Meski diakui bahwa tindakan tegas itu tak serta merta menurunkan angka kasus narkoba di Indonesia.

***

SELAIN operasi yang tak kenal lelah, bersama dengan negara ASEAN lainnya melalui gerakan Drug Free ASEAN (ASEAN Bebas Narkoba 2015) , Indonesia telah mengikrarkan diri untuk bebas dari narkoba pada tahun 2015.

Ikrar itu telah dideklarasikan dalam rapat pejabat tingkat tinggi ASEAN untuk Narkoba pada 1-2 Agustus 2006 di Chiang Mai Thailand. Ikrar bebas narkoba itu bukan hanya sebuah slogan tanpa aksi.

Karena masalah narkoba juga berkaitan dengan jaringan internasional/antarnegara, maka pihak BNN juga telah melakukan upaya kerja sama dengan negara lain.

Implementasinya, baru-baru ini BNN telah mensponsori pertemuan dengan para Kepala Badan Penegak Hukum Anti Narkoba se Asia dan Pasifik (Heads of National Drugs Law Enforcement Agencies Asia And The Pasific/Honlap) di Hotel Kartika Discovery, Kuta-Bali, 6-9 Oktober 2009. Honlap merupakan forum pertemuan yang bertujuan untuk saling menukar informasi serta memajukan kerja sama penegakan hukum dalam mencegah dan memberantas perdagangan gelap narkoba di kawasan Asia dan Pasifik.

Dalam pertemuan empat hari yang dihadiri delegasi 21 negara dengan tiga organisasi internasional (dari 53 negara anggota, sembilan negara asosiasi dan sejumlah negara peninjau dan organisasi internasional), dilaksanakan diskusi kelompok kerja dengan tiga tema utama, yakni tren perdagangan narkotika di kawasan Asia dan Pasifik, upaya memberantas produksi narkotika jenis amphetamine-type stimulantas (ATS), dan upaya menghilangkan keuntungan perdagangan narkotika.

Diskusi tiga tim itu bermuara pada kesimpulan dan rekomendasi, antara lain pentingnya peningkatan kerja sama antarnegara di kawasan Asia dan Pasifik, serta penyelarasan prosedur standar operasi yang terkait dengan pemberantasan pergerakan narkotika yang melintasi batas negara.
Rekomendasi lain yang dihasilkan adalah peningkatan pertukaran informasi antarnegara dan perhatian khusus terhadap sindikasi pengedar narkotika yang berasal dari kawasan Afrika Barat. Sindikasi asal Afrika Barat ini beroperasi melintasi batas negara sehingga untuk menanganinya diperlukan kerja sama, pertukaran data, dan komunikasi yang intensif antaraparat penegak hukum anti narkotika dari tiap negara di kawasan Asia dan Pasifik. Terkait upaya meningkatkan kerja sama dalam penanggulangan produksi gelap ATS, negara-negara se Asia dan Pasifik sepakat untuk memperketat upaya pengawasan prekursor, mengantisipasi peningkatan penyitaan prekursor dan cara penanganannya

IV UPAYA PENANGANAN MASALAH

Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba saat ini menjadi masalah yang sangat memprihatinkan dan cenderung semakin meningkat serta merupakan masalah bersama antara yang melibatkan pemerintah dan masyarakat sehingga memerlukan suatu strategi yang melibatkan seluruh komponen bangsa yang bersatu padu dalam suatu gerakan bersama untuk melaksanakan strategi ”menyeimbangkan dan memadukan pengurangan pemasukan dan pengurangan permintaan” sehingga program P4GN dapat berhasil guna yang meliputi bidang-bidang sebagai berikut :

1. Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba.

Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan lintas bidang terkait, meningkatkan kualitas individu aparat, serta menumbuhkan kesadaran, kepedulian dan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat, pelajar, mahasiswa dan pemuda, pekerja, serta lembaga-lembaga lainnya yang ada di masyarakat. (Pendidikan, Kesehatan sosial, Sosial-Akhlak, Sosial-pemuda & OR Ekonomi-Tenaga Kerja). Mencegah terjadinya penyalahgunaan dan perredaran gelap, dengan upaya-upaya yang berbasiskan masyarakat mendorong dan menggugah kesadaran, kepedulian dan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat dengan motto yang menjadi pendorong semangat adalah ”Mencegah Lebih baik Daripada Mengobati”, adalah :

a. Strategi pre-emtif (Prevensi Tidak Langsung)
Merupakan pencegahan tidak langsung yaitu, menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor yang mendorong timbulnya kesempatan atau peluang untuk melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan usaha/kegiatan dengan menciptakan kesadaran, kepedulian, kewaspadaan, dan daya tangkal masyarakat dan terbina kondisi, prilaku dan hidup sehat tanpa narkoba.
b. Strategi Nasional Usaha Promotif
Usaha-usaha promotif dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan pembinaan dn pengembangan lingkungan masyarakat bebas narkoba, pembinaan dan pengembangan pola hidup sehat, beriman, kegiatan positif, produktif, konstruktif dan kreatif.
c. Strategi nasional untuk komunikasi,
Informasi dan Pendidikan Pencegahan.
Pencegahan penyalahgunaan narkoba terutama diarahkan kepada generasi muda (anak, remaja, pelajar, pemuda, dan mahasiswa). Penyalahgunaan sebagai hasil interaksi individu yang kompleks dengan berbagai elemen dari lingkungannya, terutama dengan orng tua, sekolah, lingkungan masyarakat dan remaja/pemuda lainnya, oleh karena itu Strategi informasi dan Pendidikan Pencegahan dilaksanakan melalui 7 (Tujuh) jalur yaitu :

1) Keluarga, dengan sasaran orang tua, anak, pemuda, remaja dan anggota keluarga lainnya.
2) Pendidikan, sekolah maupun luar sekolah/dengan kelompok sasaran guru/tenaga pendidikan dan peserta didik/warga belajar baik secara kurikuler maupun ekstra kurikuler.
3) Lembaga keagamaan, engan sasaran pemuka-pemuka agama dan umatnya.
4) Organisasi sosial kemasyarakatan, dengan sasaran remaja/pemuda dan masyarakat.
5) Organisasi Wilayah Pemukiman (LKMD, RT,RW), dengan sasaran warga terutama pemuka masyarakat dan remaja setempat.
6) Unit- unit kerja, dengan sasaran Pimpinan, Karyawan dan keluargannya.
7) Mass Media baik elektronik, cetak dan Media Interpersonal (Talk show dan dialog interaktif), dengan sasaran luas maupun individu.

d. Strategi Nasional untuk Golongan
Beresiko Tinggi
Strategi ini disisapkan khusus untk remaja/pemuda yang beresiko tinggi, yaitu mereka yang memepunyai banyak masalah, yang dengan edukasi preventif saja tidak cukup krena tidak menyentuh permasalahan yang mereka alami. Pada umumnya masalah-masalah tersebut, menyangkut kehidupan keluarga drop out/putus sekolah, putus pacar, kehamilan diluar nkah, tekanan kelompok sebaya (peer group), glandangan dan anak terlantar, dan lain-lain.
e. Strategi Nasional untuk partisipasi Masyarakat
Strategi ini merupakan strategi pencegahan berbasis masyarakat, sebagai upaya untuk menggugah, mendorong dan menggerakan masyarakat untuk sadar, peduli, dan aktif dalam melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Suksesnya strategi ni sangat tertanggung pada partisispasi masyarakat dalam usaha-usaha promotif, edukasi prevensi, dan penanganan golongan beresiko tinggi. Kekuatan-kekuatan didalam masyarakat di mobilisir untuk secara aktif menyelenggarakanprogram-program dibidang-bidang tersebut ditas.

INDIKATOR KINERJA

Ukuran keberhasilan pelaksanaan pencegahan, pembrantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba ditunjukan oleh pencapaian indikator kinerja yang menunjukan keberhasilan pelaksanaan program adalah sebagai berikut :

Bidang Pencegahan
a.Meningkatkan kesadaran masyarakat umum tentang bahaya penyalahgunaan Narkoba
b.Meningkatkatnya pengetahuan masyarakat umum tentang bahaya penyalahgunaan Narkoba.
c.Terjadinya peubahan sikap masyarakat terhadap bahaya penyalahgunaan Narkoba.
d.Meningkatnya ketrapilan masyarakat terhadap penyalahgunaan Narkoba
e.Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bahaya penyalahgunaan Narkoba.

V KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah bahwa kasus penyalahgunaan obat saat ini sangat merajalela terutama ditingkat remaaja.hal ini terjadi karena kurang nya perhatian dari orang tua terhadap anak, pergaulan juga dapat dikatakn sebagai salah satu penyebab yang paling cepat dalam penyebaran obat terlarang. Banyak dari kita sadar akan penyalahgunaan obat terlarang tapii masih malas dalam memberantas masalah narkoba. Maka dari itu mulai dari sekarang mulailah membuka mata dan ikut membantu dalam mencegah masuk nya obat terlarang.

Jumat, 05 Maret 2010

MASALAH SOSIAL SEBAGAI INSPIRASI PERUBAHAN (KASUS KEMISKINAN) DAN UPAYA PEMECAHANNYA

Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik

Dosen : Muhammad Burhan Amin

Topik tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan( Kasus Kemiskinan )

dan Upaya Pemecahannya

Kelas : 1 EB 18

Dateline Tugas : 6 Maret 2010

Tanggal Penyerahan Tugas : 6 maret 2010

PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim lain / pihak lain.

Apabila terbukti tidak benar, kami siap menerima konsekoensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini.

Penyusun

NPM

Nama Lengkap

Tanda Tangan

22209124

DAME MARIA



Program Sarjana Akuntansi

UNIVERSITAS GUNADARMA

Tahun 2010






BAB I

MASALAH KEMISKINAN

ITENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH

Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik.

Aspek sosial terutama akibat

-terbatasnya interaksi sosial

- penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat

Aspek Produksi

-upah kecil

daya tawar rendah

tabungan nihil

lemah mengantisipasi peluang.

Dari aspek psikologi

akibat rasa rendah diri

fatalisme

malas

terisolir.

dari aspek politik berkaitan dengan

kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan

diskriminatif

posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.

BAB II

LATAR BELAKANG MASALAH

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya. Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi kemiskinan ini.

Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.

BAB III

PENANGANAN MASALAH BERBASIS MASYARAKAT

A. MENGEMBANGKAN ITENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH

"Kemiskinan di Indonesia salah satu faktornya adalah masalah mental. Banyak .orang mengaku miskin, sehingga memilih meminta-minta. Tetapi memang ada RTSM yang memang memerlukan bantuan dalam memenuhi hak-hak dasar meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan. PKH ini terobosan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus sebagai sarana untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi mereka yang sangat miskin yang berhak mendapatkan bantaun tunai bersyarat atau PKH," katanya.

Tujuan program ini adalah meningkatkan kondisi ekonomi, status kesehatan, gizi ibu hamil dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM. Kemudian mendorong angka partisipasi pendidikan anak-anak (usia wajib belajar SD/SMP). Dan, meningkatkan aksesibilitas, kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan RTSM.Tahun anggaran 2010, PKH dikembangkan di 18 provinsi, 88 kabupaten/kota dan 880 kecamatan. Penerima bantuan ditargetkan sebanyak 720.000 RTSM," kata Akifah menambahkan.Besar bantuan RTSM PKH sebagai berikut, bantuan tetap sebesar Rp 200.000 per tahun, bantuan pendidikan (SD/Madrasyah Ikhtidaiyah Rp 400.000 per tahunj". (SMP/MTS Rp 800.000 per tahun). Bantuan kesehatan Rp 800.000 (untuk balita dan ibu hamil/ menyusui), rata-rata bantuan per RTSM Rp 1.390.000, bantuan minimum Rp 600.000, dan bantuan maksimal per RTSM Rp 2,2 juta per tahun.

B. PEMANFAATAN MODAL SOSIAL

Modal sosial merupakan konsep sosiologi yang digunakan dalam beragam ilmu seperti bisnis, ekonomika, perilaku organisasi, politik, kesehatan masyarakat dan ilmu-ilmu sosial. Semua itu untuk menggambarkan adanya hubungan di dalam dan antarjejaring sosial (wikipedia). Jejaring itu memiliki nilai. Seperti halnya modal fisik atau modal manusia yang dapat meningkatkan produktifitas individu dan kelompok maka modal sosial pun demikian pula. Pierre Bourdieu (1986), dalam bukunya The Forms of Capital membedakan tiga bentuk modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Dia mendefinisikan modal sosial sebagai "the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition”.

Sementara itu James Coleman (1988) berpendapat modal sosial secara fungsi adalah sebagai “a variety of entities with two elements in common: they all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors…within the structure”. Dia mengatakan bahwa modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan hubungan, timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Modal sosial, menurut pandangannya, merupakan sumberdaya yang netral yang memfasilitasi setiap kegiatan dimana masyarakat bisa menjadi lebih baik dan bergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.

Menurut Robert Putnam (2006), modal sosial sebagai"the collective value of all ‘social networks‘ and the inclinations that arise from these networks to do things for each other". Dia percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masayarakat atau di antara individu-individu. Selain itu konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih pada unsur individual. Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar.

C. PEMANFAATAN INSTITUSI SOSIAL:

i. Organisasi masyarakat

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.

Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.

Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

ii. Organisasi swasta

Wacana tentang pengentasan kemiskinan kerap didominasi kritik terhadap kurangnya peran swasta, khususnya pengusaha, dalam "perang terhadap kemiskinan". Pengusaha dianggap kurang beramal, kurang menyumbang keuntungan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Karena itu, pemerintah dan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) gigih mengimbau, termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR) yang akhir-akhir ini banyak bergema.

Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Karena amal sering kali dilihat sebagai beban, pengusaha hanya beramal sejauh imbauan pemerintah dan LSM tanpa usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini cenderung tidak berkelanjutan, apalagi karena umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.

Kebuntuan ini menciptakan frustrasi dan kekecewaan, berujung pada tuduhan bahwa pengusaha mencari keuntungan tanpa peduli sosial. Di lain pihak, pengusaha pun merasa amal yang diminta berlebihan, lebih daripada yang bisa dipertanggung-jawabkan kepada pemilik perusahaan. Selain itu, karena dianggap tidak memberi keuntungan menjanjikan, banyak perusahaan ragu menaruh perhatian khusus pada kelompok miskin sebagai target pasar utama.

Buku terbaru CK Prahalad, The Fortune at the Bottom of the Pyramid (TFBOP), yang dikembangkan dari tulisannya bersama Stuart Hart, menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini. Lewat analisis tajam dan studi-studi kasus yang mengesankan, Profesor Strategi Korporasi dan Bisnis Internasional dari University of Michigan Business School ini mendobrak batasan antara upaya memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan pencarian keuntungan: keduanya bisa berdampingan demi pemberdayaan masyarakat miskin yang berkelanjutan.

***

Pertanyaan awal yang patut diungkapkan, mengapa muncul kebuntuan semacam ini? Kebuntuan ini, menurut Prahalad, berakar dari paradigma yang mempertentangkan keuntungan dan penyediaan kebutuhan orang miskin. Pengusaha beranggapan keuntungan dari upaya memenuhi kebutuhan khusus masyarakat miskin tidak sebanding. Sementara ada anggapan bahwa pemberantasan kemiskinan harus bersifat sosial, tanpa pamrih; pengusaha yang besar dengan menyediakan kebutuhan kaum miskin selalu dilirik penuh curiga.

Anggapan umum ini meremehkan potensi ekonomi yang dimiliki kaum miskin dan Prahalad menunjukkan kekeliruan anggapan ini. "Jika kita berhenti menganggap sang miskin sebagai korban atau beban dan mulai melihat mereka sebagai pengusaha yang ulet dan kreatif serta konsumen yang selalu mencari penawaran terbaik... [maka] empat miliar orang miskin dapat menjadi motor dari... kesejahteraan dunia"

iii. Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial

Grameen Bank (GB) mengedepankan microcredit sebagai kebijakan bagi masyarakat marginal, terutama perempuan. GB adalah Bank yang dikelola secara independen oleh warga miskin dan menolak intervensi sistem perbankan konvensional karena secara ideologis, GB berposisi di kiri terkait dengan preferensi pada kesejahteraan nasabah-nasabahnya sebagaimana konsepsi koperasi. Namun GB tidak anti kanan karena tidak menolak globalisasi dan pasar bebas asal mengikutsertakan si miskin. Jalan tol globalisasi tidak seharusnya dikuasai oleh truk-truk raksasa negara-negara maju dengan menyingkirkan becak-becak di negara dunia ketiga. Kredit mikro didasari asumsi bahwa kewirausahaan tidak harus melulu profit, melainkan sebuah investasi yang digerakkan oleh kesadaran sosial.