Jumat, 05 Maret 2010

MASALAH SOSIAL SEBAGAI INSPIRASI PERUBAHAN (KASUS KEMISKINAN) DAN UPAYA PEMECAHANNYA

Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik

Dosen : Muhammad Burhan Amin

Topik tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan( Kasus Kemiskinan )

dan Upaya Pemecahannya

Kelas : 1 EB 18

Dateline Tugas : 6 Maret 2010

Tanggal Penyerahan Tugas : 6 maret 2010

PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim lain / pihak lain.

Apabila terbukti tidak benar, kami siap menerima konsekoensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini.

Penyusun

NPM

Nama Lengkap

Tanda Tangan

22209124

DAME MARIA



Program Sarjana Akuntansi

UNIVERSITAS GUNADARMA

Tahun 2010






BAB I

MASALAH KEMISKINAN

ITENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH

Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik.

Aspek sosial terutama akibat

-terbatasnya interaksi sosial

- penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat

Aspek Produksi

-upah kecil

daya tawar rendah

tabungan nihil

lemah mengantisipasi peluang.

Dari aspek psikologi

akibat rasa rendah diri

fatalisme

malas

terisolir.

dari aspek politik berkaitan dengan

kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan

diskriminatif

posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.

BAB II

LATAR BELAKANG MASALAH

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya. Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi kemiskinan ini.

Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.

BAB III

PENANGANAN MASALAH BERBASIS MASYARAKAT

A. MENGEMBANGKAN ITENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH

"Kemiskinan di Indonesia salah satu faktornya adalah masalah mental. Banyak .orang mengaku miskin, sehingga memilih meminta-minta. Tetapi memang ada RTSM yang memang memerlukan bantuan dalam memenuhi hak-hak dasar meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan. PKH ini terobosan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus sebagai sarana untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi mereka yang sangat miskin yang berhak mendapatkan bantaun tunai bersyarat atau PKH," katanya.

Tujuan program ini adalah meningkatkan kondisi ekonomi, status kesehatan, gizi ibu hamil dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM. Kemudian mendorong angka partisipasi pendidikan anak-anak (usia wajib belajar SD/SMP). Dan, meningkatkan aksesibilitas, kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan RTSM.Tahun anggaran 2010, PKH dikembangkan di 18 provinsi, 88 kabupaten/kota dan 880 kecamatan. Penerima bantuan ditargetkan sebanyak 720.000 RTSM," kata Akifah menambahkan.Besar bantuan RTSM PKH sebagai berikut, bantuan tetap sebesar Rp 200.000 per tahun, bantuan pendidikan (SD/Madrasyah Ikhtidaiyah Rp 400.000 per tahunj". (SMP/MTS Rp 800.000 per tahun). Bantuan kesehatan Rp 800.000 (untuk balita dan ibu hamil/ menyusui), rata-rata bantuan per RTSM Rp 1.390.000, bantuan minimum Rp 600.000, dan bantuan maksimal per RTSM Rp 2,2 juta per tahun.

B. PEMANFAATAN MODAL SOSIAL

Modal sosial merupakan konsep sosiologi yang digunakan dalam beragam ilmu seperti bisnis, ekonomika, perilaku organisasi, politik, kesehatan masyarakat dan ilmu-ilmu sosial. Semua itu untuk menggambarkan adanya hubungan di dalam dan antarjejaring sosial (wikipedia). Jejaring itu memiliki nilai. Seperti halnya modal fisik atau modal manusia yang dapat meningkatkan produktifitas individu dan kelompok maka modal sosial pun demikian pula. Pierre Bourdieu (1986), dalam bukunya The Forms of Capital membedakan tiga bentuk modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Dia mendefinisikan modal sosial sebagai "the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalised relationships of mutual acquaintance and recognition”.

Sementara itu James Coleman (1988) berpendapat modal sosial secara fungsi adalah sebagai “a variety of entities with two elements in common: they all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors…within the structure”. Dia mengatakan bahwa modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan hubungan, timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Modal sosial, menurut pandangannya, merupakan sumberdaya yang netral yang memfasilitasi setiap kegiatan dimana masyarakat bisa menjadi lebih baik dan bergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.

Menurut Robert Putnam (2006), modal sosial sebagai"the collective value of all ‘social networks‘ and the inclinations that arise from these networks to do things for each other". Dia percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masayarakat atau di antara individu-individu. Selain itu konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih pada unsur individual. Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar.

C. PEMANFAATAN INSTITUSI SOSIAL:

i. Organisasi masyarakat

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.

Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.

Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

ii. Organisasi swasta

Wacana tentang pengentasan kemiskinan kerap didominasi kritik terhadap kurangnya peran swasta, khususnya pengusaha, dalam "perang terhadap kemiskinan". Pengusaha dianggap kurang beramal, kurang menyumbang keuntungan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Karena itu, pemerintah dan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) gigih mengimbau, termasuk melalui inisiatif corporate social responsibility (CSR) yang akhir-akhir ini banyak bergema.

Namun, pendekatan pemberantasan kemiskinan seperti ini sering menemui jalan buntu. Karena amal sering kali dilihat sebagai beban, pengusaha hanya beramal sejauh imbauan pemerintah dan LSM tanpa usaha mengembangkannya. Maka, sering kali pendekatan ini cenderung tidak berkelanjutan, apalagi karena umumnya amal tidak memberdayakan kapasitas ekonomi sang miskin.

Kebuntuan ini menciptakan frustrasi dan kekecewaan, berujung pada tuduhan bahwa pengusaha mencari keuntungan tanpa peduli sosial. Di lain pihak, pengusaha pun merasa amal yang diminta berlebihan, lebih daripada yang bisa dipertanggung-jawabkan kepada pemilik perusahaan. Selain itu, karena dianggap tidak memberi keuntungan menjanjikan, banyak perusahaan ragu menaruh perhatian khusus pada kelompok miskin sebagai target pasar utama.

Buku terbaru CK Prahalad, The Fortune at the Bottom of the Pyramid (TFBOP), yang dikembangkan dari tulisannya bersama Stuart Hart, menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini. Lewat analisis tajam dan studi-studi kasus yang mengesankan, Profesor Strategi Korporasi dan Bisnis Internasional dari University of Michigan Business School ini mendobrak batasan antara upaya memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dan pencarian keuntungan: keduanya bisa berdampingan demi pemberdayaan masyarakat miskin yang berkelanjutan.

***

Pertanyaan awal yang patut diungkapkan, mengapa muncul kebuntuan semacam ini? Kebuntuan ini, menurut Prahalad, berakar dari paradigma yang mempertentangkan keuntungan dan penyediaan kebutuhan orang miskin. Pengusaha beranggapan keuntungan dari upaya memenuhi kebutuhan khusus masyarakat miskin tidak sebanding. Sementara ada anggapan bahwa pemberantasan kemiskinan harus bersifat sosial, tanpa pamrih; pengusaha yang besar dengan menyediakan kebutuhan kaum miskin selalu dilirik penuh curiga.

Anggapan umum ini meremehkan potensi ekonomi yang dimiliki kaum miskin dan Prahalad menunjukkan kekeliruan anggapan ini. "Jika kita berhenti menganggap sang miskin sebagai korban atau beban dan mulai melihat mereka sebagai pengusaha yang ulet dan kreatif serta konsumen yang selalu mencari penawaran terbaik... [maka] empat miliar orang miskin dapat menjadi motor dari... kesejahteraan dunia"

iii. Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial

Grameen Bank (GB) mengedepankan microcredit sebagai kebijakan bagi masyarakat marginal, terutama perempuan. GB adalah Bank yang dikelola secara independen oleh warga miskin dan menolak intervensi sistem perbankan konvensional karena secara ideologis, GB berposisi di kiri terkait dengan preferensi pada kesejahteraan nasabah-nasabahnya sebagaimana konsepsi koperasi. Namun GB tidak anti kanan karena tidak menolak globalisasi dan pasar bebas asal mengikutsertakan si miskin. Jalan tol globalisasi tidak seharusnya dikuasai oleh truk-truk raksasa negara-negara maju dengan menyingkirkan becak-becak di negara dunia ketiga. Kredit mikro didasari asumsi bahwa kewirausahaan tidak harus melulu profit, melainkan sebuah investasi yang digerakkan oleh kesadaran sosial.

Kredit mikro adalah salah satu lokomotif penggerak pertumbuhan ekonomi. Sebagian pendapat mengatakan bahwa kredit mikro berfungsi sebagai minyak pelumas dari mesin pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan GNP. Padahal seharusnya pertumbuhan diukur melalui target-target pengurangan jumlah penduduk miskin dan layanan terhadap mereka. Pembangunan harus bersandar pada isu HAM sehingga harus didefinisikan ulang mengacu pada pendapatan perkapita 50 % populasi termiskin, bahkan kalau perlu 25 % kualitas hidup populasi terbawah terangkat.

Kritikus sering mengatakan bahwa kredit mikro tidak memberikan kontribusi significant terhadap pembangunan sebuah negara. Yunus membantahnya dengan analogi kereta api yang sering dipakai dalam menganalisis strata sosial ekonomi manusia. Kereta api ditarik oleh lokomotif yang terletak di depan atau didorong dari belakang, atau keduanya.

Namun sebenarnya masyarakat memiliki mesin sendiri-sendiri. Oleh sebab itu gabungan kekuatan seluruh mesin akan mendorong seluruh perekonomian maju. Strata sosial di gerbong-gerbong belakang tidak boleh lepas kendali, sehingga harus didorong oleh lokomotif yang disebut dengan kredit mikro. Logikanya, dorongan lokomotif ini akan membuat kereta bertambah laju, bukannya melambat. Sesuatu yang gagal dilakukan oleh sebagian besar proyek-proyek pembangunan. Selama ini investasi bendungan, pembangunan jalan, jembatan, pembangkit listrik dan bandara meningkatkan efisiensi mesin-mesin di gerbong kelas satu berlipat-lipat, namun apakah otomatis meningkatkan kapasitas mesin di gerbong belakang? Belum pasti.

* Jalan Terjal Interaksi GB dengan WB
Sam Daley Harris, direktur eksekutif RESULT bersama John Hatch dari FINCA dan Yunus mulai mereka-reka target ambisius untuk menggapai 100 juta keluarga termiskin terlibat dalam kredit mikro dalam 10 tahun kedepan (1996-2005). Visi tersebut kemudian dideklarasikan dalam Pertemuan Puncak Kredit Mikro (Micro credit Summit) yang digelar pada tanggal 2-4 Februari 1997 di Washington D.C. 3000 orang dari 137 negara hadir menyaksikan sambutan Hillary Clinton, Ratu Sofia (Spanyol) dan Tsutomu mantan PM. Jepang. Hillary mengatakan bahwa :

Kredit mikro bukan hanya soal memberi orang peluang ekonomi. Ini menyang-
kut komunitas, tanggung jawab dan cara pendang tentang bagaimana kita semua saling terhubung dan tergantung di dunia masa kini. Ini adalah pengakuan bahwa negara kami, nasib para penerima tunjangan kesejahteraan di Denver atau Washington terjalin tak terelakkan dengan kita semua. Ini soal pemahman tentang bagaimana mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan di India atau Bangladesh akan memantulkan kembalimanfaatnya bagi seluruh komunitas dan menciptakan ladang subur agar demokrasi bisa hidup dan bertumbuh, karena masyarakat memiliki harapan dan masa depan.

iiii. Kerjasama dan Jaringan

Permasalahan kemiskinan dengan berbagai karakteristiknya ini tidak mudah dipecahkan tanpa adanya keterlibatan semua unsur. Karena, kunci utama dari upaya penanggulangan kemiskinan di daerah adalah terbangunnya, serta melembaganya jaringan komunikasi, koordinasi dan kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah: Pemda, Masyarakat dan kelompok peduli (LSM, swasta, perguruan tinggi, ulama/tokoh masyarakat, dan pers). Permasalahan kemiskinan hanya dapat ditanggulangi jika tiga komponen di atas saling kerjasama dalam semangat kebersamaan, dan berpartisipasi mencari alternatif pemecahan masalah.

Peran pemda dalam membangun daerah menjadi titik sentral dan menjadi sangat besar, karena daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur otonominya sendiri agar mampu mandiri. Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah tata pemerintahan. Perubahan yang sangat signifikan terjadi pada saat diberlakukannya UU No. 22/tahun 1999, tentang pemerintahan daerah (Otonomi Daerah), yang menimbulkan berbagai perbedaan persepsi tentang kebijakan pembangunan dan pola penanggulangan kemiskinan. Sejalan dengan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah dan derasnya arus pemikiran baru yang berkembang dalam jargon-jargon reformasi telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pembangunan daerah.

Paradigma baru dalam pembangunan daerah pada prinsipnya mengandung tiga spirit. Pertama, spirit otonomi daerah, yang mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa lokal. Kedua, spirit good governance yang mendorong terciptanya tata pemerintahan yang baik. Dan, ketiga, prinsip people empowerment, yang memberikan power kepada masyarakat melalui proses pemampuan, pemberian tanggung jawab yang jelas dan pelibatan secara proporsional dalam pengelolaan pembangunan.

Ketiga spirit ini menggeser filosofi yang selama ini ada, yaitu dari “membangun daerah” menjadi “daerah membangun”, dan “membangun masyarakat” menjadi “masyarakat membangun”. Artinya, antara daerah dan masyarakat harus terjalin kebersamaan dan kerjasama yang baik agar terlahir suatu kebijakan yang berpihak.

Dengan adanya paradigma baru yang dipicu oleh UU No 22/tahun 1999 tentang otonomi daerah dan tuntutan reformasi, memberikan peluang besar bagi daerah dalam pembangunan daerahnya, dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan tersebut. Artinya, pemerintah tidak lagi sebagai provider dan pelaksana, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator dan katalisator dari dinamika pembangunan.

Guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat, pemda perlu mendorong dan menumbuh-kembangkan kelembagaan partisipatif masyarakat berupa:
1. Hak Sosial Masyarakat
Pemda perlu menjamin pemenuhan akses pelayanan sosial dasar, seperti kesehatan, pendidikan, air bersih, serta kebutuhan sosial lainnya
2. Hak Ekonomi Masyarakat
Pemda perlu meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber pendapatan masyarakat untuk memenuhi kehidupannya secara layak dan manusiawi, penciptaan lapangan kerja
3. Hak Politik Masyarakat
Pemda wajib memberikan ruang yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Untuk mendukung semua ini tentu pemda perlu menyediakan sarana dan prasarana, regulasi, fasilitasi yang cukup memadai sesuai aspirasi dan kemampuan pembiayaan daerah.

BAB IV

UPAYA PENANGGULANGAN MASALAH

Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.

BAB V

KESIMPULAN

Kesimpulannya adalah bahwa kasus kemiskinan yang terjadi marak ini adalah salah satu kasus yang harus lebih diperhatiakn.Kurang tanggap nya pemerintah dan masyarakat setempat dalam kasus kemiskinan ini juga dapat menjadikan masalah ini tidak dapat teratasi. Maka dari itu peran organisasi masyarakat,swasta,pemerintah dalam kerjasama untuk mengurangi kasus kemiskinan pun sangat diperlukan

DAFTAR PUSTAKA

http://umum.kompasiana.com/2009/04/21/adakah-kontribusi-kredit-mikro-dalam-pemberantasan-kemiskinan/

http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=302&id=10&tab=2

http://bataviase.co.id/content/pemerintah-daerah-wajib-dukung-program-pkh

http://umum.kompasiana.com/2009/04/21/adakah-kontribusi-kredit-mikro-dalam-pemberantasan-kemiskinan/

Sumber : Randy R Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto, ”Manajemen

Pemberdayaan. Sebuah Pengantar dan Panduan Untuk

Pemberdayaan Masyarakat”, 2007, hlm 3

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/penanggulangan%20kemiskinan%20berbasis%20masyarakat.pdf

Sumber: www.pu.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar